Sumedang Pra Islam


Sumedang secara geografis terletak di Jawa Barat, sekitar 46 km timur laut Bandung. Memiliki pegunungan dan perbukitan, Gunung Tampomas merupakan landmark tersendiri menjadikan Sumedang sebuah tempat yang asri dan nyaman untuk ditinggali.

Sumedang memiliki sejarah panjang, termasuk pernah menjadi pusat Kerajaan Sumedang Larang.

Sumedang menjadi bagian dari kerajaan Tembong Agung, yang didirikan pada abad ke-8M oleh Prabu Aji Putih, kemudian berubah nama saat Prabu Tajimalela mewarisi takhta ayahnya menjadi Himbar Buana yang berarti “Menerangi Bumi.”

Prabu Tajimalela kemudian digantikan oleh putranya bergelar Prabu Gajah Agung.

Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal, insun madangan”, yang artinya “Aku dilahirkan, aku menerangi”.

Kata Sumedang berasal dari kata Insun madangan, yang berubah pengucapannya menjadi sun madang, dan selanjutnya berubah menjadi Sumedang.

Dari kerajaan Tembong Agung hingga akhirnya menjadi Sumedang Larang. Wilayah kerajaan Sumedang Larang meliputi semua daerah Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten.

Puncak kejayaan kerajaan Islam Sumedang Larang saat diperintah oleh Pangeran Angkawijaya/Prabu Geusan Ulun. 22 April 1578 Masehi, menjadi tonggak baru bagi Sumedang Larang karena pada tahun ini pula kerajaan Pajajaran runtuh dan menyerahkan kedaulatannya pada Prabu Geusan Ulun yang dianggap masih keturunan Pajajaran. Dikemudian hari 22 April 1578 Masehi ditetapkan menjadi hari jadi kota Sumedang.

Sumedang telah mengalami tiga fase perubahan besar sejak didirikan. Fase pertama saat berdirinya kerajaan Tembong Agung, fase kedua saat menjadi kerajaan Islam Sumedang Larang pada pertengahan abad ke-16, fase ketiga merupakan fase modern Sumedang saat ini.

Budaya Masyarakat Sumedang Pra Islam

Sebuah kebiasaan manusia dapat dikatakan sebagai budaya ketika memenuhi beberapa kriteria berikut:

 * Diwariskan Secara turun-temurun: Kebiasaan tersebut telah dilakukan secara berulang-ulang oleh generasi sebelumnya dan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.

 * Diterima Secara Luas: Kebiasaan tersebut diterima dan diakui oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai bagian dari identitas mereka.

 * Memiliki Makna Simbolis: Kebiasaan tersebut memiliki makna simbolis atau nilai-nilai tertentu yang penting bagi masyarakat.

 * Menjadi Bagian dari Identitas Kelompok: Kebiasaan tersebut membedakan suatu kelompok masyarakat dari kelompok lainnya dan menjadi ciri khas kelompok tersebut.

 * Relatif Stabil: Kebiasaan tersebut cenderung bertahan dalam jangka waktu yang lama dan sulit diubah, meskipun mungkin mengalami sedikit modifikasi seiring berjalannya waktu.

Singkatnya, budaya adalah hasil dari interaksi sosial manusia dalam jangka waktu yang lama dan menjadi ciri khas suatu kelompok masyarakat.

Kecenderungan dari entitas masyarakat adalah berkembangnya budaya dari tempat tersebut, salah satunya Sumedang.

Masyarakat Sumedang  memiliki kebudayaan yang melimpah dari corak seni sampai ritual keagamaan.

Adapun karya budaya tradisional kabupaten Sumedang diantaranya: Ngalaksa, Hajat lembur, Seni Bangreng, Seni Gembyung, Kuda Renggong, Ketuk Tilu Cikeruhan atau Tari Cikeruhan, Tari Gotong Domba, Reak Kreasi, Tarawangsa, Rengkong, Tayuban, Angklung Jenglung, Songah, Umbul, Celempung, Calung, Goong Renteng, Seni Kromong Eyang Jangel, Reog, Samroh, Tanji, Adu Domba atau Ketangkasan Domba.

Semua karya budaya ini nyaris punah kalah bersaing dengan budaya modern.

Sinkretisme dan Asimilasi

Sinkretisme adalah proses perpaduan dari paham-paham aliran agama atau kepercayaan, sedangkan Asimilasi adalah perpaduan kebudayaan yang berbeda yang menghasilkan kebudayaan baru. (https://brainly.co.id).

Dipercaya sebelum Hindu-Budha masuk ke tanah Sunda yang berarti ke tanah Sumedang Larang, kepercayaan yang dianut masyarakat kala itu kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang (Animisme), juga kepercayaan pada benda-benda yang bertuah (Dinamisme).

Kepercayaan yang meliputi percaya akan adanya penguasa sirah cai (sumber mata air), batu besar, pohon besar dan semacamnya.

Percaya kepada suara-suara binatang, seperti burung hantu, gagak, burung kedasih dan semacamnya.

Percaya pada hari-hari nahas, tumbal, jampi-jampi, roh jahat, seba, munjung, kasurupan dan sebagainya.

Berbagai kepercayaan tersebut terus melekat dari generasi ke generasi, sinkretisasi berbagai kepercayaan masih berserakan di tengah-tengah masyarakat Sumedang.

Asimilasi dan Akulturasi budaya selalu menemukan momentumnya saat alih generasi.

Menyikapi Perbedaan

Banyaknya perbedaan keyakinan atau sikap di masyarakat, orang Sunda sudah mempunyai penawarnya tersendiri.

Untuk menjaga kerukunan sesama warga, orang tua Sunda dulu méré papagah (memberi nasihat) yang cukup unik hanya dengan melalui paribasa sunda.

Berikut beberapa contoh peribahasa Sunda yang menekankan kerukunan:

 * Kudu silih asah, silih asih, jeung silih asuh: Artinya harus saling mengasah, mengasihi, dan mengasuh.

 * Kudu akur jeung dulur hadé jeung baraya: Artinya harus rukun dengan saudara dan kerabat.

 * Bengkung ngariung bongkok ngaronyok: Artinya jika ada masalah, maka harus dipecahkan bersama-sama.

Konsep kerukunan dalam masyarakat Sunda sangatlah penting. Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari hubungan antar individu, keluarga, hingga masyarakat secara keseluruhan.

Cag!

Bahan Bacaan:


7 tanggapan untuk “Sumedang Pra Islam”

  1. Keep up the fantastic work! Kalorifer Sobası odun, kömür, pelet gibi yakıtlarla çalışan ve ısıtma işlevi gören bir soba türüdür. Kalorifer Sobası içindeki yakıtın yanmasıyla oluşan ısıyı doğrudan çevresine yayar ve aynı zamanda suyun ısınmasını sağlar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *