Rahasia pada Debur Ombak


Fitria Puji Lestari

            “Jadi, kau merasa salah menentukan langkah?” suara berat khas lelakinya, nyaris bersamaan dengan tiupan angin cukup kencang yang menerpa wajahnya dan wanita di sampingnya. Arinda hanya tersenyum kecil, sembari menghapus yang menitik dari sudut matanya.

            “Sudahlah, jangan bersedih lagi!” ungkapnya lagi.

keduanya memutuskan untuk beranjak setelah duduk berjam-jam di bawah pohon yang rindang, sembari menatap langit yang biru, serta hamparan laut sejauh mata memandang. Sebuah kalimat yang percis sama seperti biasanya, ketika Arinda bersedih. Sebuah kalimat  mengandung unsur kata kekhawatiran yang muaranya adalah rasa kasih sayang tanpa batas. Belakangan ini, baru Arinda sadari, rasa seperti itu tak pernah Arinda temukan pada pria manapun.

            Belasan taun yang lalu, lelaki yang kini sedang menemaninya berjalan pun pernah berucap: katanya dia tidak pernah bisa melihat seorang perempuan menitikkan air mata, apalagi jika itu Arinda. Wanita yang dirasa begitu istimewa untuknya. Katanya lagi, sesungguhnya air mata itu terdiri dari satu persen yang berwujud cairan, sedangkan sembilan puluh sembilan persennya lagi, merupakan wujudiah dari sebuah perasaan.

            “Emm … tidak, karena sudah bersama orang yang biasa menghapus kesedihan.” ucap Arinda, kini dia menampilkan lengkungan senyum termanisnya. Setelahnya, ia pun tertawa kecil. “Kamu masih seperti dulu Ardi, terima kasih!” ucapnya lagi.

            Keduanya kemudian berjalan menyusuri pantai. Terkadang riak ombak kecil menjilat-jilat kaki keduanya. Membuat keduanya tertawa cekikikan. Apalagi Arinda, yang sejak tiba di pantai ini telah menegaskan, jika dirinya tak ingin basah.

            Arinda begitu menikmati langkahan kakinya yang tanpa alas itu di samping Ardi. Membuatnya seperti terlempar pada momen yang sama belasan tahun yang lalu. Yang berbeda mungkin getaran di dadanya. Perbedaan yang sungguh amat ia sesali saat ini.

            Dulu hatinya begitu beku dan membatu. Warna biru di langit yang cerah, semburat jingga di langit senja yang semestinya menentramkan rasa, tak pernah bisa membuka hatinya. Apa yang dilakukan Ardi kepadanya, tak pernah berarti sama sekali. Bersama Ardi, tak lain hanyalah untuk pelarian semata. Dia hanya butuh teman pada saat itu. Teman dengan dada yang lapang untuk menumpahkan kekecewaan dan rasa putus asanya, ketika raga dan batinnya dipasrahkan untuk seorang lelaki, yang awalnya ia kira cinta sejatinya.  Arka.

            Cinta sejati. Arinda selalu tersenyum miris ketika mengingat kata tersebut. Karena setelah apa yang dilakukan Arka kepadanya, kata tersebut berubah menjadi tema pada  sebuah kalimat pertanyaan: Apakah cinta sejati seperti ini? Selalu dipakasa untuk percaya, ketika Arka berbohong kepadanya; Memaksa hatinya untuk tak peduli dan biasa saja, ketika Arka memberi luka; Tetap setia dengan perasaannya, ketika Arka meninggalkannya pergi, untuk datang ke lain hati. Bisakah keadaan-keadaan seperti itu disebut dengan cinta? Saat Arka datang kembali kepadanya dengan membawa luka di dadanya, Arinda dengan lapang menerimanya kembali. Cinta yang begitu besar seaakan menutup mata hatinya.

            “Aku yang terlalu banyak memakai hati, sayangnya dia tidak!” suara Arinda bergetar, menahan letupan-letupan perasaan yang terasa mendesak-desak di dadanya. Sebelum memutuskan berjalan-jalan menyusuri pantai, keduanya memang duduk terlebih dahulu di bawah pohon yang rindang, sembari menikmati kesegaran dari kelapa muda. Meski rasa segar itu, tak jua berarti di tenggorokan Arinda. Ardi menyeruput air kelapa itu, dan kini air kelapa muda yang mengalir di tenggorokannya pun, memiliki rasa yang percis seperti Arinda.

            Ardi menarik nafasnya panjang. “Kau harus kuat Arinda…!” Hanya kalimat itu yang sanggup Ardi ungkapkan setelah mendengar luapan-luapan perasaan dari wanita di sampingnya. Wanita yang dulu teramat ia cintai.

            Punggung tangan Arinda sibuk mengusap bulir-bulir yang terus  saja mengalir dari kelopak matanya. Akhirnya, dia bisa menumpahkan perasaan-perasaan yang selama ini hanya mampu ia redam dalam kesunyiaannya. Akhirnya, dia menemukan kembali sosok yang selama ini bisa menjadi tumpuannya berpijak. Kini ia sadari, Ardi adalah tempat berlabuhnya semua rasa, bahu terkuat untuk tempatnya berlindung, dan membuatnya nyaman bersandar. Perasaan setentram itu, sudah lama Arinda tak merasakannya. Ardi memberikannya, hanya dari keteduhan sorot matanya ketika pandangan mereka beradu.

            Dulu, ia berpikir jika dia bisa menerima perasaan-perasaan semacam ini ketika bisa bersanding dengan Arka. Dibawah ikatan suci pernikahan. Ia salah. Jangankan untuk menjadi pelipur berjuta lara dan penentram rasa, malah mungkin sejak awal, getar rasa itu tak pernah sama dengan yang ada di hatinya.  Menikahinya semacam untuk pelampiasannya saja. Rasa cintanya masih untuk kekasihnya yang dulu. Dia tidak pernah beres dengan masa lalunya. Tadinya ia berusaha tak percaya akan hal itu, menutup mata dari perilaku-perilaku suaminya. Namun semakin kesini, hatinya sudah tak bisa dibohongi lagi. Apalagi saat wanita yang bernama Liana itu mendatanginya, meminta maaf kepadanya karena diam-diam masih saling bersua. Liana mengatakan, mereka tak akan mengulanginya lagi. Semuanya akan usai demi keutuhan keluarga mereka masing-masing.

“Cermin yang telah pecah tak akan pernah lagi sama meski kau mencoba merekatkannya kembali Ardi. Meskipun bisa direkatkan, namun pantulannya jelas tak akan sempurna.” Begitulah Arinda mengungkapkan perasaannya.

Tak bisa dipungkiri dada Ardi kini mulai bergemuruh. Ingin sekali ia membawa wanita yang duduk di sampingnya itu ke dadanya. Memeluk dan mengusap kepalanya. Bagaimanapun wanita disampingnya itu pernah menjadi seseorang yang begitu istimewa di hidupnya.

“Aku mengerti, sudahlah!” ucap Ardi seraya memberikan selembar tisu. Hanya itu yang akhirnya bisa ia lakukan.

            Ingatannya kembali berkelana ke masa belasan tahun yang lalu. Pada sebuah adegan di mana dirinya mendesak Arinda untuk jujur akan perasaannya. Arinda yang diharapkan menjadi teman hidupnya, menjadi Ibu dari anak-anaknya, berkata di tengah isak tangisnya,  jika hatinya memang masih bersama lelaki itu. Ternyata selama itu, hanya raga yang Ardi miliki, tapi tidak dengan hati. Sebuah kenyataan pahit, yang tadinya hanya sebuah kecurigaan dan ketakutan yang selalu menghantui malam-malamnya.

            Tak lama sejak kejadian itu, di medsos dia melihat foto-foto Arinda dengan wajah sumringah. Berposeu mesra dengan lelaki itu, dalam balutan baju pengantin. Itu adalah masa-masa suram di hidupnya. Rasanya begitu terpuruk. Luka di hatinya seolah tak ada penawarnya. Setiap detik, terasa mencabik-cabik ulu hatinya. Butuh waktu yang cukup lama, juga kekuatan hati yang tak terhingga, untuk bisa ikhlas menerima takdirnya.

            Di masa seperti itu, Arinda selalu menghubunginya. Berkali-kali mengucap maaf dan berusaha menghiburnya dengan berbagai nasihat, doa, kata-kata penyemangat, bahkan sampai pernah berusaha menjodoh-jodohkan. Ia hargai itu, meski sebenarnya itu sama sekali tak berguna. Yang diinginkan hatinya tetaplah cinta Arinda.

            “Tak apa-apa, kebahagiaan Arinda lebih penting dari segalanya!” Berpuluh kali ia bisikkan kalimat tersebut jika ia tiba-tiba mengingat Arinda. Wanita berlesung pipit, yang membuatnya begitu manis ketika tersenyum.

            Tak sadar jemari tangannya kini mengepal erat, menahan amarah pada laki-laki yang telah menyia-nyiakan wanita yang sangat ia impikan itu.

            “Mari kita berjalan-jalan sebentar menikmati suasana pantai ini, lepas ini kita cari mushola untuk shalat!” ucap Ardi mengajaknya beranjak dari duduknya, juga mungkin untuk mengalihkan perasaannya yang kini sudah tak menentu.

            Arinda mengangguk. Ia kemudian mengulurkan tangannya, mengisyaratkan agar Ardi menggengam tangannya seperti dahulu ketika mereka jalan berdua.

            Ardi hanya tersenyum melihat gelagat Arinda yang seperti dulu itu. “Kau sudah ada yang punya!”

            Bibir Arinda mengerucut mendengar penuturan Ardi.

            “Sudahlah, jangan terus dipikirkan seperti itu, setidaknya untuk hari ini. Takutnya kau lupa, bagaimana rasanya bahagia.” Ucap Ardi saat melihat Arinda melangkah dengan wajah yang masih ditekuk. “Cantikmu selalu memudar jika kau cemberut seperti itu.” Ucap Ardi lagi.

            “Ish, kamu… !” Arinda tertawa sekarang. Tentu saja ia ingat ledekan seperti itu dulu, jika sedang memasang wajah sedih di depan Ardi. Mereka kini tertawa berdua, di tengah-tengah suara deburan ombak. Mereka asyik membicarakan masa lalu. Tentang teman-teman mereka, kejadian-kejadian lucu, tempat-tempat yang dulu mereka sukai, dan obrolan-obrolan asyik lainnya.

            “Ardi!” ucap Arinda setelah mereka berhenti tertawa.

            “Hmm!”

            “Terima kasih!”

            “Untuk?”

            “Untuk hari ini. Sebenarnya aku tak percaya aku bisa seperti ini lagi. Rasanya sudah lama sekali, sepertinya aku bahkan lupa bagaimana caranya tertawa riang. Andai saja hari seperti ini akan selalu ada.”

            Ardi tak menjawab lagi. Ia melemparkan pandangannya kepada jauhnya laut. Untuk sepersekian detik, hanya suara debur ombak yang terdengar di antara keduanya.

            “Mengapa Ardi, apakah perasaanmu sudah tak seperti dulu lagi?” Akhirnya dengan hati-hati, Arinda kembali bertanya.

            Ting … sebuah pesan masuk ke ponsel Ardi. Membuat benda pipih di tangannya itu menyala. Arinda melirik ponsel Ardi. Sebuah wallpaper foto keluarganya terpampang di sana. Ardi juga anak istrinya tersenyum sumringah, seolah mengatakan mereka adalah keluarga yang harmonis dan bahagia. Sudut mata Arinda sempat menangkap foto tersebut.

            “Tak perlu dijawab Ardi. Aku sudah tahu jawabanmu. Sudahlah, aku mengerti.” ucap Arinda sembari tersenyum. “`Istrimu itu, bukankah wanita dari perjodohan orang tuamu, kau sempat bercerita tentang hal itu dulu.”

            “Ya, itu dia.” jawab Ardi pelan.

            Arinda tersenyum lagi. Bagaimanapun ia mesti bahagia atas kebahagiaan lelaki yang selama ini selalu ada untuknya.

            Ardi mengantarkan Arinda ke tempat mobil Arinda terparkir. Ia melambaikan tangan, dan tetap berdiri di sana sampai mobil Arinda benar-benar menghilang dari pandangannya. Arinda tersenyum melihat sosok Ardi dari kaca spionnya.

            Ucapan Ardi seolah terdengar lagi di telinganya sebelum mereka berpisah. “Tak selamanya perasaan sesuai dengan kebenaran Arinda!”

Arinda setuju dengan perkataan Ardi. Sebenarnya perasaan inilah yang membuat dirinya berbohong kepada suaminya jika hari ini ada pekerjaan di luar kota. Arinda yakin, Ardi pun melakukan hal yang sama pada istrinya. Tidak, Arinda tak ingin menjadi Liana untuk Ardi. Itulah hal yang terpenting.

Mobilnya mulai melaju, meninggalkan area pantai. Sekilas Arinda melihat lagi laut itu. Cukuplah untuk hari ini. Tawa lepas, ketentraman hati, hari ini saja sudah cukup. Pertemuan rahasia ini tak boleh terulang lagi. Biarlah deburan ombak membawa rahasia ini sejauh mungkin, menenggelamkannya pada dasar lautan.

“Hey ombak, tolong bawa rahasia ini!” Tulis Arinda pada status medsos berwarna hijau itu. Status yang tentu saja ia telah setting untuk Ardi saja.

Ardi memberikan emoticon jempol menanggapi statusnya. Arinda tersenyum. Tak lama kemudian nomor Ardi pun menghilang. Nampaknya nomornya sudah Ardi blokir, seperti yang mereka janjikan sebelumnya di pantai itu.

                                                                        Jatihurip, 30 Oktober 2023

BIODATA

Nama              : Fitria Puji Lestari

Alamat            : Perum Jatihurip blok 1 no 40 A RT 02 RW 13 Kec Sumedang Utara Kab Sumedang

Status              : Guru di MTs Khoirul Usroh, Anggota Patrem (Paguyuban Sastrawati Sunda)

No Hp/WA      : 082118210393


7 tanggapan untuk “Rahasia pada Debur Ombak”

  1. Hi would you mind sharing which blog platform you’re using?

    I’m planning to start my own blog in the near future but I’m having a tough time selecting between BlogEngine/Wordpress/B2evolution and Drupal.
    The reason I ask is because your design seems different then most blogs and I’m
    looking for something unique. P.S Sorry for getting off-topic but I had to ask!

    Here is my website – Animale Male Enhancement Reviews

  2. Your writing is a true testament to your expertise and dedication to your craft. I’m continually impressed by the depth of your knowledge and the clarity of your explanations. Keep up the phenomenal work!

  3. Greetings! I’ve been following your web site for a long time now and
    finally got the courage to go ahead and give you a shout out from Porter Texas!
    Just wanted to tell you keep up the good job!

    My blog: p1789300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *