Ber-Islam dan Ber-Indonesia


Oleh: Agus S. Saefullah

Islam adalah yang agama sempurna. Sebagai seorang muslim saya meyakini bahwa islam adalah satu-satunya agama yang benar dan sebagai seorang masyarakat dunia saya menghargai pemikiran yang sama bagi pemeluk-pemeluk agama lain. Pemikiran itu berangkat dari ketegasan Islam mengajarkan bahwa hanyalah Allah satu-satunya Dzat yang rasional untuk disembah dan dijadikan tempat bersimpuh. Kalimat laa ilaa ha illallah adalah meniadakan semua tuhan-tuhan palsu dalam perspektif Islam dan menegaskan kesaksian bahwa Allah adalah (satu-satunya) Tuhan.

Nash-nash agama yaitu Al-Qur’an dan hadits tidak berselisih (kontradiktif) menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya tuhan yang benar. Kendatipun kemudian muncul berbagai perbedaan-perbedaan interpretasi tentang sifat-sifat Allah tetapi tidak sampai mengurangi kesepakatan atas keyakinan bahwa Allah adalah maha Esa.

Islam bagi saya adalah way of life (jalan hidup) yang harus terus bersemayam dalam diri sehingga setiap tindak tanduk harus selalu berlandaskan pada nilai-nilai islam. Konsep ihsan dalam hadits Nabi adalah pelengkap keislaman dan keimanan, adanya rasa termonitor oleh Allah membuat pemeluk agama Islam idealnya adalah menjadi manusia-manusia terbaik dalam pandangan Allah dan sesama manusia. Pemeluk agama Islam itu dinamai dengan muslim dan dishahihkan dengann nash-nash yang banyak menyebutkan kata muslim dalam literatur islam.

Islam dan Muslim tentu sangat berkaitan erat. Islam sebagai suatu religion system dan muslim sebagai islamic community. Islam menuntut para pemeluknya untuk menjalani islam dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segala aspek sesuai dengan porsinya. Namun pada realitanya tidak semua muslim itu menjalankan sistem dan nilai-nilai Islam sepenuhnya sehingga menilai islam tidak bisa dengan melihat pemeluknya (muslim) sebagai barometer.

Muslim dalam hadits Nabi diterangkan ­al-islamu mahjubun minal muslimin (islam terhalang dari muslim) itu artinya akan ada pada gilirannya seorang muslim hidup di masyarakat tidak mempresentasikan agamanya. Celakanya kemudian masyarakat tertentu tergesa-gesa menilai perbuatannya sebagai gambaran islam, sehingga para haters  muslim memanfaatkan ini sebagai isue-iseu yang dibumikan (diviralkan), sehingga Islam terpicturisasi sebagai agama yang tidak ideal, paling tidak islam kemudian hanya menjadi agama yang terpenjara di masjid. Islam tidak hidup di pasar, tidak hidup di kantor, bahkan tidak hidup di lembaga pendidikan.

Gerakan Tajdid

Berangkat dari bergesernya citra dan penerapan agama dalam diri individu dan tatanan sosial masyarakat muslim. Maka saya kira gerakan tajdid yang hidup belakang ini cukup dibutuhkan. Terlepas dari hasil yang sudah ada, gerakan tajdid cukup meng-inshofkan kita bahwa muslim dengan islam sudah cukup renggang limitasinya.

Tajdid itu sendiri dalam kacamata saya tidak sama dengan ibtida’ (mengada-ada). Seorang mujaddid (pelaku tajdid) tidak mengubah apalagi membongkar pasang struktur bangunan agama Islam. Agama Islam itu seperti bangunan yang harus ditempati dan dipelihara dengan baik. Seorang pembaharu (kata lain dari mujaddid) adalah renovator yaitu mengubah sesuatu yang usang, kotor atau rusak menjadi bersih, rapi, dan kembali layak pakai atau layak huni. Bukan innovator yaitu membuat sesuatu yang baru yang sebelumnya belum ada. Pembaharu adalah reformer yaitu penata ulang bukan deformer perombak tatanan dan sistem yang sudah dibangun.

Seorang atau sekelompok pembaharu bertugas untuk memperjelas sesuatu yang kabur menjadi jelas, memurnikan segala ajaran islam yang prinsip namun sudah terkontaminasi, mencerdaskan umat dalam menghadapi berbagai realitas perbedaan-perbedaan yang sifatnya cabang serta memodernisasi berbagai perangkat-perangkat kehidupan demi mengimbangi kebutuhan dan tantangan zaman.

Dengan gerakan pembaharuan ini diharapkan lahirnya gerakan pengembalian islam  kepada keoriginalannya. Sehingga pandangan muslim terhadap agamanya tidak keliru lalu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan akibat globalnya islam akan tercitrakan lebih baik atau kembali baik dan akan membuat masyarakat dunia semakin tertarik dengan islam.

Gerakan pembaharu yang benar dalam pandangan islam tidak mengobrak-abrik prinsip-prinsip islam yang qath’i. Karena akibatnya fatal jika pembaharu malah justru melakukan pembebasan diri dari agama yang dianggapnya sebagai candu atau penjara masyarakat sehingga adanya gerakan-gerakan kebebbasan yang berlebihan yang mengatasnamakan pembaharuan. Islam sesungguhnya menjamin kebebasan-kebebasan bagi pemeluknya tentu dengan ada batasan-batasan yang ditegakan. Batasan-batasan itu adalah agar hak-hak kita tidak menabrak hak-hak individu lain yang hidup bersamaan dengan kita.

Makna Kebebasan

Kebebasan sepertinya masih memiliki terminoligis yang bermacam-macam di masyarakat kita. Apakah kebebasan itu seperti bebasnya burung yang berterbangan di atas langit? Apakah seperti matahari yang selalu menyinari ke setiap ruang yang tak terhalang di bumi ini? Atau kebebasan itu nihil makna yang baku?

Tentu kebebasan dalam islam adalah kebebasan yang terbatas. Batas-batas itu dibuat agarkebebasan yang kita miliki dan kita manfaatkan tidak melabrak kebebsan individu yang lain. Dalam isalm, saya kira kebebasan itu terbagi kedalam tiga bagian:

Pertama, kebebasan itu identik dengan fitrah yakni tabiat dan kodrat asli manusia sebelum ia diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan di sekelilingnya. Maka orang bebas adalah orang hidup selaras dengan fitrahnya. Kedua, kebebasan bermakna daya atau kemampuan (istita’ah) serta kehendak (masyi’ah) dan kenginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memlih jalan hidup. Ketiga, berarti kebebasan dalam memilih yang baik (ikhtiyar). Jika kita malah memilih yang buruk berarti kita sedang menyalahgunakan kebebasan yang Allah berikan.

Dalam kerangka kebebasan ini seorang muslim harus memahami bahwa kebebasan adalah sebagaimana firman Allah: “siapa yang mengerjakan kebaikan, maka ia telah berbuat baik untuk dirinya. Sebaliknya, siapa yang berbuat jahat, maka ia berlaku jahat kepada dirinya jua’ (41:46). Maka dalam islam kebebasan tidak boleh kebablasan.

Ber-Islam Dan Berindonesia

Menjadi Muslim yang hidup di Indonesia harus berislam dan berindonesia? Anggap saja berislam kita faham. Lalu bagaimana berindonesia? Tentu ini akann mengundang jawaban yang beragam. Salah satu dari jawaban yang paling lucu adalah, menganggap bahwa berislam harus menjadi arab, lalu menusantarakan islam hingga ke wilayah ushuliyah.

Islam sangat toleran, konsekuensinya menjadi muslim sudah barang tentu juga harus toleran. Jika ada muslim yang tidak toleran jangan sesekali berkesimpulan bahwa islam agama intoleran, tetapi harus difahami bahwa kemampuan manusia dalam menjalankan ajaran agama salah satunya toleransi itu berbeda-beda.

Indonesai sebagai bangsa yang majemuk dari mulai bahasa, suku, ras, adat, dan agama membutuhkan manusia-manusia yang toleran, dan islam sebagai agama yang sudah siap dengan konsep toleransi secara mendasar tidak ada masalah dengan indonesia. Harapan saya adalah setiap muslim harus terus kembali memperbanyak studi agamanya (belajar), karena dengan belajar muslim dengan islam menjadi lebih dekat jarakya. Menjadi muslim Indonesia adalah menjadi seorang yang mengimplementasikan ajaran agamanya dengan keyakinan yang penuh, menghargai setiap perbedaan yang ada, menghormati pemeluk agama lain, dan mendakwahkan ajara agama islam dengan memperhatikan sosio-kultur yang berada di Indonesia. Menjadi muslim indonesia tidak perlu mengubah ajaran agama menjadi indonesia. Karena Islam sudah sangat universal.


54 tanggapan untuk “Ber-Islam dan Ber-Indonesia”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *